Gak ada Dana untuk Perpustakaan

Pada tahun 2011 saya berkunjung ke sebuah kota di bagian selatan Jawa Timur untuk mengisi acara pengasuhan/ Saya punya kebiasaan, setiap berkunjung ke sebuah kota—baik dalam rangka wisata ataupun dalam rangka mengisi pelatihan—saya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke sekolah yang ada di sana. Demikian juga saat saya datang ke kota tersebut, saya berkunjung ke sebuah sekolah yang cukup terkenal.

Sekolah ini sama dengan sekolah-sekolah swasta lainnya. Mereka memiliki bangunan dan fasilitas yang lebih baik dari yang dimiliki sekolah-sekolah negeri. Gedungnya dua tingkat dengan lantai yang licin, berjendela kaca, sejuk karena berpendingin udara, dan menggunakan proyektor di dalam kelas untuk menambah daya tarik guru yang mengajar. “Interaktif,” kata sebagian gurunya. Pembelajaran dengan multimedia.

Sempurna untuk sebuah sekolah di kabupaten. Pasti akan banyak orang yang menitipkan anak belajar di sana.

Sang kepala sekolah menceritakan bagaimana sekolah dan yayasan dapat mewujudkan gedung dan fasilitas yang cukup baik ini. Mereka menggalang dana dari berbagai sumber, mulai dari bantuan donatur jazirah Arab dan Eropa, sumbangan CSR BUMN, sumbangan wali murid (baik yang wajib ataupun sukarela), tembusnya proposal mereka ke Kementerian Pendidikan, hingga (sebagian) hutang ke bank. Luar biasa  cara yang sekolah ini tempuh, karena tak banyak sekolah mempunyai inovasi fund rising semacam ini.

Sang kepala sekolah kemudian mengajak saya berkeliling melihat fasilitas lainnya. Ada sebuah kelas ciamik terbuat dari bambu yang menambah kesan eksklusif. Masjid yang luas juga tersedia di sekolah ini.

Berikutnya, saya meminta untuk diajak melihat perpustakaan. Melihat gedung dan fasilitas mentereng seperti ini, saya yakin sekolah tersebut memiliki perpustakaan yang juga cukup keren, baik dari sisi gedung, maupun isinya.

“Pak, bolehkah saya diajak untuk melihat perpustakaan sekolah?” tanya saya.

“Maaf Pak, kami belum memiliki ruangan untuk perpustakaan. Buku-buku masih kami letakkan di ruang guru, tempat tadi Bapak menunggu saya,” jawab kepala sekolah.

Dahi saya berkerut karena terkejut dengan jawaban kepala sekolah. Dua kali saya menjadi kepala sekolah di tempat yang berbeda, perpustakaan selalu menjadi menu wajib yang diminta oleh konsultan pendidikan sekolah. Saat menjadi kepala sekolah untuk pertama kalinya di Aceh, hal itu relatif lebih mudah dilakukan karena kami mendapat bantuan dari perusahaan seluluer. Namun, meski tidak mendapat bantuan serupa, sekolah sederhana kami di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, juga wajib memiliki perpustakaan.

Perpustakaan bukanlah obsesi pribadi. Perpustakaan sejatinya ruh dari peradaban itu sendiri. Semua peradaban yang pernah jaya di dunia ini, dari Yunani, Romawi, Jepang, Cina, India, hingga peradaban modern abad ini, menjadikan perpustakaan sebagai salah satu tiang penyangga peradaban. Yunani kuno punya Bibliotheca Alexandrina di Alexandria, Mesir; zaman keemasan Islam memiliki Bayt Al-Hikma di Baghdad, Irak. Semua ada untuk mendukung kejayaan sebuah negara, dan dihancurkan oleh para musuhnya saat mereka ingin menghancurkan negara itu.

Pernah main game-game strategi seperti Age of Empires? Kalau belum, saya cerita sedikit tentang game ini. Permainan elektronika ini dimulai dari masa pra-sejarah. Kita hanya diberi dua pekerja yang bisa mencari sumber daya alam. Berikutnya jika terkumpul sumber daya, kita akan bikin pengolahan sumber daya hingga akademi militer. Ada saatnya kita akan membangun sebuah perpustakaan yang dapat menambah kekuatan negara. Ketika kita membangun perpustakaan; ilmuwan, pertanian hingga militer akan tambah kekuatannya.

Kurang lebih seperti itulah dampak dari perpustakaan. Bukan sebagai beban dari sebuah peadaban, tapi penambah kekuatan sebuah negara. Karena di sana, ilmuwan mencari ilmu dan mengarsipkan hasil-hasil penelitiannya yang dapat digunakan untuk kemajuan sebuah negara atau peradaban.

Kita juga masih ingat bagaimana Kubilai Khan merusak perpustakaan yang ada di Baghad ketika penguasa Mongol itu menjajah dan menaklukkan Baghdad. Tapi apa yang terjadi kemudian? Khan dan pasukannya yang terbelakang, pulang membawa peradaban Baghdad yang lebih maju. Mereka bukan mewarnai negara jajahan, tapi terwarnai oleh jajahannya.

Di setiap universitas yang dibangun pada masa peradaban Islam, hampir semuanya memiliki perpustakaan yang besar, bahkan luasnya hampir sama atau lebih besar dari masjid yang ada. Di Baghdad sendiri, pernah memiliki lebih dari delapan perpustakaan besar. Karena masing-masing ilmuwan memiliki perpustakaan pribadi yang cukup besar dan lengkap.

Sekolah, adalah tempat membangun peradaban. Dan ini adalah yang dicita-citakan oleh pemilik sekolah. Semua pemilik sekolah mempunyai visi ingin membangun peradaban manusia yang lebih baik. Tapi membangun sekolah tanpa peduli pada perpustakaan ibaratnya menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang rapuh. Ibarat membangun rumah tanpa pondasi, mendirikan jembatan tanpa tiang.

Leave a Reply